Pdt. David Kwiatkoski
Gereja Katolik St.Anne
Pada hari Minggu yang lain ini, kita diminta untuk merenungkan tren yang menyedihkan: Anak-anak yang tumbuh di rumah Katolik menjadi kurang tertarik pada iman. Bagaimana kita memahami kekuatan yang ada, dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri generasi berikutnya?
Seorang ibu Katolik baru-baru ini membagikan kisahnya, menjelaskan perjuangan yang dihadapi banyak orang. Dia telah mengamalkan keyakinannya sejak dia masih kecil, namun mendapati bahwa keyakinannya perlahan-lahan dibayangi oleh kehidupan yang berfokus pada kenyamanan materi.
“Kemakmuran membuat saya kehilangan rasa takut akan Tuhan,” katanya.
Hubungannya dengan Tuhan berangsur-angsur memudar ketika dia merasa aman. “Saya adalah salah satu dari jutaan umat Katolik yang setengah tertidur di planet ini,” akunya, terlambat menyadari bahwa rasa puas diri secara rohani ini juga berdampak pada putrinya.
Suatu hari dia bertanya kepada putri remajanya apakah dia takut akan Tuhan. Putrinya menjawab, “Saya tidak percaya pada Tuhan.” Tanggapan yang tegas ini menyoroti bagaimana keamanan materi (sering dipandang sebagai anugerah) menggantikan iman dengan rasa mandiri. Sang ibu menyadari bahwa dengan mengabaikan penanaman nilai-nilai spiritual, ia secara tidak sengaja telah meninggalkan putrinya terombang-ambing di dunia yang semakin mempertanyakan relevansi keimanan.
Masalah ini tidak jarang terjadi. Karena ingin memberikan kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya, banyak orang tua Katolik sering kali berfokus pada kenyamanan materi dengan harapan hal ini akan menjamin kebahagiaan.
Namun, meskipun anak-anak tampak puas di permukaan, mereka mungkin tidak memiliki dasar untuk bersyukur, memiliki tujuan, atau keyakinan. Kekayaan materi, betapapun melimpahnya, tidak dapat memuaskan rasa lapar rohani yang lebih mendalam yang hanya dapat dipuaskan oleh iman.
Saat ini, budaya kita membentuk anak-anak dengan cara mudah yang tidak sepenuhnya dihargai oleh banyak orang tua. Hiburan, media sosial, dan pesan sosial secara halus membimbing kaum muda untuk mengejar kepentingan mereka sendiri dan menjauh dari nilai-nilai berbasis agama. Dengan berkurangnya waktu untuk refleksi, berdoa, atau bimbingan rohani, anak-anak mungkin kehilangan arah dalam dunia sekuler.
Melihat kembali perjalanannya, sang ibu menyadari bahwa ketidaktertarikan putrinya pada Tuhan mencerminkan imannya yang setengah hati. Setelah menyadari kesalahannya, dia mulai menegaskan kembali komitmennya, berusaha membangun kembali hubungannya dengan Tuhan dan memperkuat hubungannya dengan putrinya.
Kisah seorang ibu ini mengungkapkan sebuah kebenaran penting: Bahkan keterputusan kecil dari Tuhan dalam kehidupan sehari-hari dapat berubah menjadi jurang yang sangat besar, yang secara halus melemahkan iman yang ingin diwariskan oleh orang tua.
Bacaan Alkitab hari Minggu kemarin mengingatkan kita untuk “mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap kekuatanmu.”
Bagi para orang tua, perintah ini menjadi tantangan untuk mewujudkan keimanan dalam segala aspek kehidupan berkeluarga.
Iman tidak sekadar diajarkan; Hal ini hidup dan anak-anak menyerapnya melalui ekspresi pengabdian yang nyata dan berkelanjutan.
Menciptakan lingkungan rumah yang meningkatkan iman berarti menetapkan rutinitas yang mencakup doa, Kitab Suci, dan diskusi. Ini bukan sekadar ritual, namun praktik sakral yang memungkinkan anak-anak merasakan kehadiran Tuhan secara langsung. Keluarga juga dapat membuat perubahan kecil dan bermakna, seperti menempatkan simbol-simbol iman di rumah mereka atau menentukan waktu untuk berdoa setiap hari. Tindakan nyata ini menegaskan bahwa iman bukan sekedar renungan, melainkan nilai inti yang diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari.
Seperti yang diilustrasikan oleh kisah ibu ini, memulihkan iman keluarga kami memerlukan kerendahan hati dan tekad. Ini berarti melakukan upaya sadar untuk menempatkan Tuhan sebagai pusat kehidupan kita, memprioritaskan iman bahkan ketika gangguan dan stres mungkin menutupinya. Khususnya bagi orang tua, memberikan contoh seperti itu sangatlah penting.
Biarlah kisah ibu ini menjadi peringatan sekaligus sumber harapan. Meskipun masyarakat mungkin mendorong kemandirian dibandingkan iman, mengutamakan pilihan Tuhan tetaplah pilihan dan ajaran kita. Dengan melakukan hal ini, kita dapat meletakkan dasar yang kokoh bagi generasi berikutnya, melatih orang percaya untuk membawa terang Injil di dunia yang sangat membutuhkannya.